Jakarta (27/08/2025) — Polemik kenaikan tunjangan anggota DPR RI kembali memantik perdebatan publik. Sorotan datang dari kalangan muda, salah satunya Alfa Syahputra, dosen dan pegiat pendidikan asal Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Riau, yang menilai kebijakan itu sah secara regulasi namun bermasalah dari sisi momentum dan persepsi publik.
“Untuk duduk di Senayan, biaya politik yang dikeluarkan para caleg sangat tinggi, bahkan bisa mencapai miliaran rupiah. Wajar jika publik mengaitkan kenaikan tunjangan dengan upaya pengembalian modal politik,” ujar Alfa, Selasa (26/8).
Alfa menyebut fenomena tersebut sebagai “ironi demokrasi”. Menurutnya, demokrasi idealnya membuka kesempatan setara bagi seluruh warga negara. “Tapi dengan biaya politik setinggi itu, akses menjadi tidak setara. Dan jika setelah terpilih tunjangan dinaikkan, muncul persepsi bahwa politik kita masih transaksional,” tegasnya.
Riset Westminster Foundation for Democracy Limited (WFD) yang dikutip Antara News mendapati estimasi biaya calon anggota DPR pada Pemilu Serentak 2024 berkisar dari Rp200 juta hingga Rp160 miliar. Temuan itu, kata Alfa, memperkuat kekhawatiran bahwa kontestasi politik masih didominasi pemilik modal besar.
Meski demikian, Alfa menekankan kenaikan tunjangan bukanlah masalah jika berbanding lurus dengan kinerja dan keberpihakan pada publik. “Kinerja DPR RI harus mencerminkan nilai tunjangan yang mereka terima. Jangan hanya menaikkan hak, tapi kewajiban terhadap rakyat diabaikan. Publik butuh transparansi dan akuntabilitas,” katanya.
Sebagai jalan keluar, Alfa mendorong reformasi pembiayaan politik disertai pengawasan publik yang lebih kuat. “Kalau pembiayaan politik tidak direformasi, akan sulit memutus mata rantai politik uang. Ini juga alasan kenapa publik sinis terhadap kebijakan kenaikan tunjangan,” ucapnya.
Ia mengajak generasi muda untuk terlibat aktif dalam pengawalan kebijakan. “Anak muda jangan diam. Kita harus kritis, aktif, dan ikut mendorong transparansi. Karena masa depan politik ini ada di tangan kita,” pungkas Alfa.