Rokania (12/11/2022) – Wisuda Perdana STKIP Rokania telah dilangsungkan pada Selasa (30/10/2018). Tepatnya 4 tahun yang lalu, atau 4 tahun setelah STKIP Rokania memperoleh izin operasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sejak itu sampai sekarang secara rutin STKIP Rokania tiap tahunnya menyelenggarakan wisuda, dan Wisuda Ke-5 telah diadakan pada Kamis (27/10/2022) lalu.
Ada satu hal penting yang akan disampaikan dalam artikel ini. Bahwa pada Wisuda Perdana dahulu ada Orasi Ilmiah yang disampaikan oleh salah seorang dosen Prodi PBSI STKIP Rokania Dr. Hermawan, M.Hum. yang berjudul “Perempuan, Sastra, dan Pendidikan”. Artikel orasi ilmiah ini pun sudah dimuat lagi di Majalah Media Digital Semesta Seni No. 27 (November 2022) halaman 24 – 27. Untuk lebih memperkenalkan substansi orasi ilmiah ini yang dinilai sarat dengan pengetahuan, terutama tentang pokok bahasan sesuai judul di atas, maka di media ini artikel orasi ilmiah ini dimuat kembali seutuhnya.
Perempuan, Sastra dan Pendidikan
Perempuan berasal dari kata empu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’, atau ‘yang paling besar’: maka, kita kenal kata empu jari ‘ibu jari’, empu gending ‘orang yang mahir mencipta tembang’. Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu ‘sokong’, ‘memerintah’, ‘penyangga’, ‘penjaga keselamatan’, bahkan ‘wali’: kata mengampu artinya menahan agar tak jatuh atau menyokong agar tidak runtuh’: kata mengampu berarti ‘memerintah (negeri)’: adalagi mengampu ‘penahan, penyangga, penyelamat’. Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’, sebagai pasangan hormat pada lelaki’ (Slametmuljana, 1964:61)
Perempuan juga mendapat kedudukan dalam kitab suci Al Quran. Ada empat surat tentang perempuan yaitu An Nisa {perempuan (surat 4)}, Maryam {ibu nabi Isa a.s (surat 19)}, Al Mujaadilah {perempuan yang mengajukan gugatan (surat 58)}, dan Al Mumtahannah {wanita yang diuji (surat 60). Baca juga Al Baqarah {sapi betina (surat 2)}, Az Zukhruf {perhiasan (surat 3)}, dan Ath Thalaaq {talak (surat 65)}. Tidak ada surat Ar Rijal.
Perempuan sejak masa lalu di Indonesia sungguh menyenangkan karena perempuan-perempuan dahulu berperanan dan berkedudukan penting. Hal ini terlihat dari penelitian terhadap beberapa cerita rakyat dalam beberapa kebudayaan daerah di Nusantara, seperti di Kalimantan, Sumatera, Timor, dan Jawa Barat. Dalam cerita rakyat itu, dapat ditafsirkan bahwa perempuan merupakan sumber kehidupan, sumber pengadaan manusia, serta penyelamat kehidupan dan keturunan (Soeleiman, 1984: 5).
Peranan dan kedudukan perempuan dalam kesusastraan Indonesia lama dijumpai dalam kaba Cindua Mato, Sabai Nan Aluih, Siti Nurbaja, Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, Cerita Panji, dan Hikayat Sri Rama. Perempuan-perempuan yang berperan dan berkedudukan penting itu, seperti Putri Syahrul Bariyah yang merupakan nenek moyang raja-raja Melayu, Wan Empuk dan Wan Malini sebagai unsur penting untuk memunculkan sebuah kerajaan besar abad ke-14 sampai abad ke-17 (Teeuw, 1952: 22-23).
Putri Gunung Ledang menjadi raja menggantikan Sultan Malaka, Tun Teja yang berhasil mendamaikan Hang Tuah dengan Sultan Malaka (Sutrisno. 1979: 127-129), Sinta perempuan yang setia terhadap suami (Ikram, 1978: 323). Pada peninggalan arkeologis, perempuan dilukiskan pada relief-relief, prasasti, dan area sebagai penari, pemain musik, hakim, bangsawan pemilik tanah, raja, atau istri raja (Soeleiman, 1984: 2).
Sejarah Indonesia mencatat bahwa perempuan ada yang menjadi raja di Aceh, yaitu Tajul Alam Safiatuddin. Pada abad ke-19, di kerajaan Tanette, Sulawesi Selatan dikenal perempuan penguasa, yaitu Siti Aisyah We Tenriolle yang memiliki kemahiran dalam bidang politik dan bidang sastra dengan karyanya epos La-Galigo, sebuah sajak yang hampir bervolume 7000 halaman folio (Baroroh, 1984: 7-8). Pada zaman penjajahan, perempuan juga ikut mengangkat senjata dan memimpin pergerakan melawan penjajah, seperti Martha Christina Tiahahu (1818), Cut Nyak Dien (1908), Siti Manggopoh (1908), Cut Meutia (1910), Nyai Ageng Serang (1928), dan yang lainnya. Perempuan juga sebagai penggerak organisasi, seperti perkumpulan Poetri Mardika (1912), Rohana Koedoes (1912), Pawiyatan Perempuan di Magelang (1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun (PIKAT) di Menado (1917), Purborini di Tegal (1917), Aisyiah di Yogyakarta (1917), Perempuan Soesilo di Pemalang (1918), Perempuan Hadi di Jepara (1919), Poetri Boedi Sedjati di Surabaya (1919), Perempuan Oetomo dan Perempuan Moeljo di Yogyakarta (1920), Rahmah El Yunusiyyah dengan Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang (1923), Rasuna Said (1930), dan seterusnya (Suryochondro, 1984: 86). Dalam kesusastraan baru, dalam hal ini novel sebelum perang, profil perempuan digambarkan ideal, mandiri, tegas, tabah, bertanggung jawab, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, bersikap pasrah karena kondisi zaman (Sumardjo. 1981: 45 dan Asri. 1996: 116). Perempuan juga digambarkan dinamis, terlibat berbagai kegiatan dalam masyarakat, berpandangan luas, mengutamakan hal-hal yang nyata dan logis menurut pikirannya.
Pada saat ini, perempuan di dunia juga telah banyak memegang peranan yang sejajar dengan lelaki dalam membangun bangsa dan negara, seperti menjadi raja, presiden, perdana menteri, menteri, ketua partai politik dan lain-lain. Perhatian pemerintah Indonesia juga terlihat serius terhadap keberadaan perempuan, sehingga dibentuklah menteri negara pemberdayaan perempuan. Dengan adanya kebijaksanaan pemerintah tersebut, diharapkan kemampuan perempuan dalam pendidikan akan lebih meningkat.
Kepribadian perempuan adalah hal yang berupa psikofisik yang mempengaruhi seorang perempuan. Sifat khas yang membentuk pribadi perempuan itu berbeda dengan laki-laki. Perempuan itu memiliki keindahan, kelembutan, kerendahan hati, memelihara, melindungi, lebih menetap dan mengawetkan (Kartono, 2007: 16-19).
Manusia sebagai makhluk individual memiliki hubungan erat dengan dirinya sendiri, dorongan untuk mengabdi, dan mempertahankan dirinya. Dalam tindakannya sehari-hari, manusia kadang-kadang menjurus kepada kepentingan pribadi (Walgito, 1994: 25). Oleh karena itu, perempuan sebagai makhluk individual memiliki dorongan yang menjurus kepada kepentingan pribadi. Dorongan yang menjurus kepada kepentingan pribadi terlihat dalam sikap perempuan ketika ia ingin memiliki jati diri.
Sebagai individu, perempuan memiliki harapan-harapan, kebutuhan, dan potensinya sendiri. Merujuk pada pandangan psikologi humanistik yang menekankan nilai positif manusia, perempuan juga membutuhkan aktualisasi diri yang seoptimal mungkin demi pengembangan dirinya; sesuatu yang pada akhirnya juga membawa dampak positif pada pengembangan umat manusia secara umum (Ihromi, 1995: 314).
Kemandirian psikologis perlu dikembangkan oleh setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan karena secara psikologis kemandirian adalah salah satu ciri pribadi yang matang (mature personality). Dengan demikian, kemandirian perempuan dinyatakan dalam kemampuannya memilih dan mengambil keputusan sendiri dengan menghargai pandangan orang lain, tetapi berani tidak mengikuti pandangan tersebut bila dianggap kurang baik (Wijaya, 1991: 29).
Dalam batinnya manusia merasakan adanya kebutuhan untuk mencari hubungan pribadi dengan manusia lain. Manusia merasa kurang lengkap kehidupannya jika ia hanya tetap tinggal sendirian saja. Manusia adalah individu yang merasakan sepi. Dengan kesepian itu kesadaran untuk mencari hubungan dengan manusia lain muncul. Manusia baru merasa lengkap dan berarti hidupnya setelah melakukan interaksi dengan manusia lain yang terdapat di sekitarnya. Manusia sebagai individu yang mempunyai ciri khas kediriannya memberi arti dan menentukan identitasnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan seseorang itu dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa sehingga arti dan hakikat hidup manusia itu ditentukan dan dibentuk bersama-sama oleh manusia itu sendiri bersama manusia lainnya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pribadi dan watak, sikap dan tingkah laku manusia, serta nilai-nilai yang dianutnya dibentuk oleh masyarakat lingkungannya, dan alam hidupnya. Dengan demikian, lingkungan bukan sekedar persyaratan pendukung tempat hidup bagi manusia, melainkan suasana yang menentukan serta memberi corak hidup manusia (Poespowardojo, 1978: 5).
Oleh sebab itu, hubungan antarmanusia yang hakiki merupakan hubungan yang tidak memperhitungkan berbagai status sosial, seperti memperhitungkan tingkat pendidikan, keturunan, asal-usul, kekayaan, dan lain-lain. Jika hubungan antarmanusia memperhitungkan perbedaan status, maka hubungan itu semu, pura-pura, tidak langgeng, dan sifatnya sementara. Hubungan antarmanusia yang hakiki dan saling menerima pribadi-pribadi, akan menghasilkan kehidupan bersama yang menghimpun sejumlah pribadi-pribadi. Kehidupan bersama manusia haruslah dibangun dan dibina dengan tetap memperhitungkan dan mempertimbangkan pribadi-pribadi sebab masyarakat terdiri atas individu-individu yang tetap memiliki kekhasannya. Dalam masyarakat perlu dijaga dan dibina keserasian dan kerukunan hubungan antarmanusia karena hubungan antarpribadi diperlukan sifat keterbukaan, keterusterangan, dan kejujuran dalam lingkungan masyarakat.
Kecenderungan biologis dan psikologis akan menghadirkan sikap rasa mempunyai terhadap orang lain. Hubungan yang dilandasi oleh sikap rasa mempunyai akan memandang orang lain sebagai pemenuhan kebutuhan ‘aku’. Oleh sebab itu, orang lain atau apa yang dibutuhkan itu harus tunduk dengan kemauanku. Di antara pria dan perempuan, ternyata perempuanlah yang lebih dominan kecenderungannya untuk memandang manusia lingkungannya berdasarkan kecenderungan biologis dan psikologis. Contoh perwujudannya, perempuan relatif lebih terpaut pada nilai-nilai materialisme dan status simbol biologis. Sikap seperti ini akan mengakibatkan kurangnya kesadaran bermasyarakat yang mempertimbangkan hubungan antarpribadi. Jika pun ia membentuk masyarakat, maka masyarakat itu akan penuh dengan persaingan antarpribadi, yang akhirnya akan menghilangkan identitas pribadi yang lain.
Betapapun dilema yang dihadapi manusia dalam masyarakat dan bermasyarakat itu tetap penting. Manusia tetap tidak dapat hidup sendirian. Manusia itu pada dasarnya membutuhkan untuk hidup dalam kehidupan kekerabatan, membutuhkan kehidupan berkelompok (Koetjaraningrat, 1980: 25).
Hakikat individu dalam hal ini perempuan, hanya bisa berkembang di dalam kontak dengan yang lainnya. Perempuan adalah pribadi sosial, yaitu pribadi psikofisik yang memerlukan antarrelasi jasmaniah dan psikis dengan manusia lain. Jadi, sosialisasi bagi seorang perempuan merupakan satu pengaruh yang paling menentukan dan membebaninya dengan tuntutan tertentu. Sosialisasi mengarahkan perempuan untuk menjadi istri, ibu, pengelola rumah tangga, dan perilaku yang diajarkan kepada perempuan adalah perilaku yang berguna untuk menyongsong perannya kelak dikemudian hari (Shaevitz, 1989: 25).
Perempuan sebagai anggota masyarakat adalah pencipta, pembina, dan pendidik manusia untuk menjadi manusia yang seutuhnya, berguna bagi kelanjutan dan kelangsungan hidup manusia dan masyarakat. Semenjak lahir perempuan memiliki beberapa peran dalam hidupnya yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya sebab peran-peran itu merupakan bagian dari hidup. Peran-peran tersebut dimulai sebagai anak, kemenakan, istri, ibu, saudara, dan bibi, bahkan nenek. Peran itu tidak terpikirkan sebelumnya karena sudah ada pola-pola tingkah laku dan harapan-harapan sederhana yang menuntun tindakan-tindakan dan tanggapan-tanggapan tersebut yang dibentuk oleh masyarakat (Wolfman, 1989: 10).
Hidup seorang perempuan tidak terbatas pada lingkungan keluarganya. Dengan meningkat dewasa, dunia individu menjadi makin luas. Selain menjadi anggota keluarga, setiap orang juga menjadi anggota dari kelompok-kelompok sosial lainnya, atau dari keluarga dalam arti kata yang lebih luas. Seorang perempuan yang telah berkeluarga, di samping perannya sebagai istri, ibu, dan sebagai pengurus rumah tangga, juga dapat berperan sebagai anggota keluarga arisan, dan tentu saja sebagai anggota masyarakat. Yang penting bagi setiap perempuan ialah bahwa ia menyadari bermacam-macam perannya, dan tahu apa yang diharapkan dari padanya sebagai anggota dari masing-masing kelompok sosial tersebut; sebagai anggota keluarga inti maupun sebagai anggota keluarga dalam arti yang lebih luas (Munandar, 1985: 50). Peran perempuan sebagai anggota masyarakat adalah menciptakan bagaimana masyarakat yang baik terwujud terutama melalui lingkungan yang lebih kecil yaitu keluarga.
Keluarga adalah kelompok primer. Kelompok primer adalah kelompok yang mempunyai interaksi sosial yang cukup intensif, cukup akrab, dan hubungan antara anggota satu dengan anggota lain cukup baik. Perempuan di samping menjadi anggota keluarga dan masyarakat juga menjadi pemimpin. Perannya sebagai pemimpin adalah mendidik dan membina anak serta anggota keluarga lainnya. Kepemimpinan adalah ciri-ciri aktivitas seseorang yang dapat mempengaruhi pengikutnya dan merupakan suatu instrumen untuk melancarkan suatu kegiatan dalam rangka mencapai tujuan (Walgito, 1994: 82 & 90).
Bila dilihat dari uraian di atas, maka perempuan merupakan pemimpin dalam keluarganya karena anak dan anggota keluarga lainnya akan dapat dipengaruhi oleh ibunya. Dengan begitu, jelaslah bahwa perempuan dalam masyarakat sangat berpengaruh untuk membuat kepribadian anggota masyarakat itu menjadi baik.
Perempuan itu juga sastra karena bila dipandang maka orang yang memandang akan berimajinasi/berkhayal (fiksi), baik perempuan itu sendiri maupun lelaki. Membicarakan perempuan juga tidak terlepas dari membicarakan lelaki.
Karya sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidupnya di segala zaman di segala tempat di dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian, orang memasuki pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan. Dengan demikian, menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan (Jassin, 1983: 4).
Teks sastra memegang peranan penting dalam memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyikapi hidup dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, teks sastra sebagai bentuk sastra fiksi dapat memberikan alternatif menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal itu dimungkinkan karena di dalam teks sastra persoalan yang dibicarakan adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Permasalahan kemanusiaan seperti kesetiaan, pengkhianatan, kepahlawanan, kesedihan, kegembiraan, penipuan, keculasan; kesewenang-wenangan, pemerkosaan hak asasi, atau hal-hal kemanusiaan disajikan oleh pengarang di dalam teks sastra. Melalui tokoh-tokoh yang dipilih, pengarang menyampaikan ceritera dengan tema yang diinginkan untuk dikarang.
Sastra tulisan dalam arti yang luas. Umumnya sastra berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung kepada kedalaman pikiran dan keaslian ekspresi (Depdikbud, 1991: 122-123). Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil (Eagleton, 1988: 4). Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, dan masyarakat, melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia; kemanusiaan (Esten, 1978: 9). Sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1979: 1). Sastra sebagai karya lisan atau tulisan memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya (Sudjiman, 1986: 68).
Kesusastraan adalah salah satu cabang kesenian, yang termasuk pula salah satu unsur penting dalam suatu kebudayaan bangsa. Kesusastraan adalah sebagian dari pernyataan (ekspresi) gerak jiwa manusia yang dilahirkan secara imajinatif dengan dukungan gaya bahasa yang mengandung nilai-nilai estetika, yang mengandung pikiran-pikiran atau konsep-konsep yang mulia dan bernilai, yang dapat menggugah cita rasa seni orang yang membaca atau pendengarnya. Kesusastraan adalah karya tulis yang nilainya terletak pada keselarasan bentuk dan efek emosional yang ditimbulkannya, baik pada para pendengar maupun pada para pembaca. Kesusastraan yang disebut juga “seni bahasa” menggunakan bahasa sebagai alat penyajiannya (Ahmad, 1979: 17).
Sastra sebagai cermin masyarakat membahas sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah. (1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis. (2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya. (3) Genre sastra sering merupakan sifat sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat. (4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 2002: 5).
Dalam sastra Indonesia, munculnya karya sastra roman tidak dapat dipisahkan dari tata kemasyarakatan yang ada. Roman dalam sastra Indonesia merupakan pengolahan tata kemasyarakatan oleh kaum terpelajar Indonesia sekitar tahun 1920-an. Tata kemasyarakatan tidak saja dicerminkan atau diuraikan dengan luisan-lukisan yang rapi, terperinci, dan hidup, tetapi juga digarap dengan semangat zaman yang menandai kebangkitan nasional itu.”Azab dan Sengsara”, “Siti Nurbaya”, “Pertemuan”, dan “Salah Asuhan”, misalnya jelas melukiskan masyarakat Minangkabau secara tandas. Maklumlah, para penulis roman-roman tersebut juga berasal dari Minangkabau, yang mengetahui dan menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh romannya dalam menghadapi tata kemasyarakatan sebagaimana terujud dalam tradisi yang dikenal dengan istilah adat istiadat, yang pada saat itu mendapat tandingan (Harjana, 1981: 75).
Secara umum, sesuai dengan hakikatnya fungsi utama karya sastra adalah menceritakan, menjelaskannya dengan menggunakan sarana bahasa, baik lisan maupun tulisan. Tanpa adanya sastra Melayu Tionghoa dengan sendirinya tidak diketahui bagaimana perkembangan masyarakat Cina di Indonesia, khususnya perkembangan bahasanya. Tanpa novel-novel Balai Pustaka maka pemahaman mengenai sistem patriakhat di Minangkabau menjadi kurang lengkap, demikian seterusnya. Setiap karya menceritakan peristiwa dalam periode tertentu, dalam masyarakat tertentu, dan dengan sendirinya dalam model interaksi masing-masing (Ratna, 2011: 194).
Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehdupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya difungsikan oleh masayarakat (Ratna, 2012: 332). Perubahan-perubahan prilaku dan kehidupan masyarakat setelah membaca karya sastra atau mendengar dongeng menandakan sastra merupakan pantulan dari dan untuk masyarakat. Prilaku masyarakat tertentu berubah setelah memahami teks sastra.
“Siti Nurbaya” membuat perubahan masyarakat setelah membaca novel itu menjadi tidak berani lagi kawin paksa, dipaksa, atau terpaksa. Sastra dongeng “Malin Kundang” membuat masyarakat tidak lagi berani melawan ibu. Situasi yang ada dalam teks sastra (yang juga berasal dari masayarakat) terpantul kembali dalam masyarakat sehingga terjadi perubahan kehidupan dan tatanan sosial masyarakat.
Berikut beberapa defenisi tentang pendidikan:
Pendidikan menurut Plato adalah proses yang dilakukan seumur hidup yang dimulai dari proses lahir hingga kematian, yang akan membuat seseorang bersemangat dalama mewujudkan warga negara yang ideal dan mengajarkannya bagaimana cara memimpin dan mematuhi yang benar.
Pendidikan menurut bahasa Inggris, pendidikan disebut dengan education yang berasal dari bahasa Latin yaitu ‘educatum’ yang tersusun atas dua kata yaitu E dan Duco. Kata E memiliki sebuah arti perkembangan dari luar atau dari sedikit menjadi banyak, sementara Duco berarti perkembangan atau sedang berkembang.
Secara etimologi, pengertian pendidikan yaitu menjadi berkembang atau bergerak dari dalam ke luar, atau dengan kalimat lain, pendidikan berarti proses mengembangkan kemampuan diri sendiri (inner abilities) dan kekuatan individu. Kata Education sering juga dihubungkan dengan ‘Educere‘ (Latin) yang berarti dorongan (propulsion) dari dalam ke luar. Artinya untuk memberikan pendidikan melalui perubahan yang diusahakan melalui latihan ataupun praktik. Oleh karena itu definisi pendidikan mengarahkan untuk suatu perubahan terhadap seseorang untuk menjadi lebih baik.
Ki Hadjar Dewantoro (Bapak Pendidikan Indonesia), mengemukakan bahwa pengertian pendidikan adalah tuntunan tumbuh dan berkembangnya anak. Artinya, pendidikan merupakan upaya untuk menuntun kekuatan kodrat pada diri setiap anak agar mereka mampu tumbuh dan berkembang sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat yang bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup mereka.
Ensiklopedi Pendidikan Indonesia adalah proses membimbing manusia atau anak dari kegelapan, ketidak tahuan, kebodohan dan kecerdasan pengetahuan. Sedagkan Encyclopedia Americana 1978 , Pendidikan adalah proses yang digunakan setiap individu untuk mendapatkan pengetahuan, wawasan serta mengembangkan sikap dan keterampilan.
Pengertian Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): didik/di·dik/ v, mendidik/men·di·dik/ v memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran didikan/di·dik·an/ n 1 hasil mendidik: pada umumnya anak-anak ~ Taman Siswa pada zaman Belanda tebal rasa kebangsaannya; 2 anak atau hewan yang dididik: anak yang saleh itu ~ orang tuanya; 3 cara mendidik: bukan karena apa anak itu, hanya salah pendidik/pen·di·dik/ n orang yang mendidik pendidikan pen.di.dik.an proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Pengertian Pendidikan berdasarkan Undang-Undang No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi di dalam diri untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa sasaran pendidikan tidak hanya cerdas secara kognitif atau akademis saja akan tetapi juga cerdas secara akhlak.
Lembaga pendidikan memegang peranan penting dalam persoalan ini. Pendidikan tidak hanya berada di suatu lembaga formal saja, melainkan juga lembaga nonformal. Pendidik tidak hanya lelaki, tetapi juga perempuan. Perempuan memang sangat penting dalam kelangsungan pendidikan dan keturunan anak bangsa selanjutnya. Bila dilihat secara sesungguhnya pembentukan karakter keturunan manusia tentulah berada di tangan lelaki dan perempuan. Artinya, perempuan memainkan peranan yang sangat penting dalam dunia pendidikan anak di dalam keluarga.
Dalam sastra orang bicara tentang perempuan. Dalam sastra orang bicara tentang pendidikan, namun dalam pendidikan kurang membicarakan sastra. Sebelum ada pendidikan formal dengan sastralah orang mendidik anak. Semuanya itu dimulai oleh perempuan. Mendendangkan dan, mendongengkan anak sewaktu akan tidur, semuanya itu adalah sastra (sastra lisan). Mendidik anak dengan contoh selalu dengan cerita (baca sastra). Akhirnya perempuan adalah sastrawan dan pendidik sejati. Orasi ini saya tutup dengan membaca puisi berikut ini:
PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Karya Hartoyo Andangjaya
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Perempuan
Kaya Upita agustin
Yang membentang sajadah di belakang suaminya
Yang memberi air hidup darah dagingnya
Yang mengalunkan dendang dalam tangis anak anaknya
Yang membisikkan dongeng sebelum tidur
Yang melafaskan doa bagi turunannya
Perhiasan suaminya
Nenek dari nenek kita
Ibu dari ibu kita
Ibu dari turunan kita
Ibu dari pemimpin kita
Perempuan
Di arus waktu menderas hilir
Menurunkan beribu persalinan
Adalah
Tambatan hati kita
(U.A., Sunting; 1993)
Rujukan
Ahmad, Sabaruddin, 1979. Kesusastraan. Minang dan hubungannya dengan Kesusastraan Indonesia. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Asri, Yasnur. 1996. Orientasi Ni1ai Budaya Tokoh Perempuan dalam Novel Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta.
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Eagleton, Terry dan Muhammad HJ. Salleh. 1988. Teori Kesusastraan : Satu Pengenalan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Esten, Mursal. 1977. Kaba Minangkaba Beberapa Kemungkinan dan Pengembangannya dalam Bahasa dan Sastra. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
__________ 1978. Kesusasteraan : Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa.
Ihromi, T. O. (ed.), 1995. Kajian Perempuan dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ikram, Achadiati. 1978. Hikayat Sri Rama; Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur. Jakarta: UI Press.
Harjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah pengantar. Jakarta: Gramedia.
Jassin, H.B., 1984. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia.
Kartono, Kartini, 2007. Psikologi Perempuan. Jilid 1 & 2. Bandung: Mandar Maju.
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Munandar, S. C. Utami (ed.), 1985. Emansipasi Peran Ganda Wanita Indonesia Suatu Tinjauan Psikologis. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Nurul nurul. 2017. 24 Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli, Buku, UU, Bahasa dan KBBI. https://www.silontong.com/2017/12/21/pengertian-pendidikan/#
Poespowardojo, Soerjanto dan K. Bertens (ed.), 1982. Sekitar Manusia Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________ 2012, Teori dan Metode, dan Praktik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Shaevitz, Marjorie Hansen, 1989. Wanita Super. Yogyakarta: Kanisius.
Slametmuljana. 1989. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.
Soeleiman, Setyawati. 1984. Peranan Perempuan pada Masa Sebagaimana Terlihat pada Pahatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II. Cisarua, 5 – 10 Maret.
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Gramedia.
Sumardjo, Jakob. 1981. Rumah yang Damai: Perempuan dalam Sastra Indonesia dalam Prisma, no. 7/th. x, Juli.
Suryochondro, Sukanti, 1984. Potret Pergerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Sutrisno, Sulastin. 1979. Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktur dan Fungsi. Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Teeuw, A, 1952. Sejarah Melayu. Djakarta: Djambatan.
_________ 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
__________ 1984. Sastra dan Ilmu Satra, Teori pengantar Sastra Jakarta: Pustaka Jaya.
Walgito, Bimo. 1994. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset.
Wijaya, Hesti R. (ed.), 1991. Kemandirian Perempuan Indonesia. Malang: Universitas
Brawijaya
Wolfman, Brunetta R., 1989. Peran Kaum Perempuan. Yogyakarta: Kanisius