Potatah-Putitih Potang Bangkik dari Kampong Turondom
Sebuah Catatan Atas Teater “Potatah-Putitih Potang. Sebuah Repertoar Teater, Transformasi Onduo ke Bentuk Teater Kontemporer” Karya Syahrizal Fadhli
Oleh: Hasrijal, S. Si., MM.
Sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Refleksi atas karya koreografis Syahrizal Fadhli, S.Sn. Salah seorang tenaga pendidik di Kampus STKIP Rokania, Rokan Hulu, Riau. Kesehariannya biasa dipanggil Ayis atau Fadhli. Saat itu sedang menyelesaikan pendidikan magister di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatra Barat. Sekarang sudah lulus dan berhak menyandang gelar akademis Magister Seni (M. Sn.) yang diwisuda pada 19 September 2022 yang lalu. Lelaki lajang asal Pasir Pandak Kecamatan Kepenuhan, Kabupaten Rokan Hulu ini, mendalami bidang seni pada Program Studi Penciptaan Seni dan Pengkajian Seni dengan minat Penciptaan Teater di ISI Padang Panjang.
Sesuai dengan program studi tersebut maka tugas akhirnya untuk meraih gelar Magister Seni tentu menciptakan karya seni yang menjadi minatnya. Akhirnya terciptalah sebuah pementasan seni teater dengan judul “Potatah-Putitih Potang. Sebuah Repertoar Teater, Transformasi Onduo ke Bentuk Teater Kontemporer”. Pementasan ini sudah lama dilakukan tepatnya Rabu, 10 Agustus 2022, pukul 20.00 WIB di Lingkungan Tanjung Harapan (Kampong Turondom), Kelurahan Pasir Pengaraian.
Ketika saya minta sedikit pernyataan tentang karyanya ini, Fadhli menjelaskan “Karya Potatah-Putitih Potang merupakan syarat untuk menyelesaikan studi pengkarya yang berkuliah di Pascasarjana ISI Padangpanjang dengan Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni. Fadhli selaku pengkarya menempuh Program Studi Penciptaan Seni dengan minat Penciptaan Teater. Minat yang diambil merupakan kelanjutan dari minat yang sudah ditempuh pada strata-1. Pada strata-1 pengkarya mengambil jurusan teater dengan minat pemeranan/keaktoran.” Untuk diketahui bahwa Fadhli menempuh pendidikan Strata-1 di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Lalu apa yang menarik dari sini? Bagi saya yang berlatar belakang bukan pendidikan seni, bahkan sangat jauh bertolak belakang, karena S-1 saya Prodi Matematika (“matematika murni” istilah sebagian orang waktu itu) di FMIPA Universitas Riau dan S-2 saya Program Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, merasa sangat menyukai teater ini. Walau hanya sebagai penikmat seni yang bahkan tidak mengerti benar dengan berbagai terminologi seni ini. Sehingga saya pun mereka-reka, mencari tahu via internet dan bertanya kepada beberapa sumber yang berlatar belakang seni dan kesusastraan.
Sebagai gambaran contoh kesukaan saya pada seni adalah saya suka membuat puisi. Itu saya temukan sejak mulai SMA berlanjut sampai kuliah. Walaupun puisi yang saya buat sangat sederhana sekali, namun saya kadang hanya menyukai beberapa kata atau kalimat yang puitis menurut saya. Sebaliknya saya malah tidak suka membaca puisi di depan panggung. Begitu pula dengan musik, saya suka mendengar musik tetapi tidak berbakat memainkannya. Paling hanya menyanyi di kamar mandi, atau mengikuti suara penyanyi aslinya melalui radio atau aplikasi lainnya.
Begitu pula tentang teater. Saya tidak paham berbagai istilah dalam bidang ini. Tetapi ketika ada penampilan teater (kalau dulu saya lebih sering memahaminya sebagai ‘sandiwara’) saya suka menontonnya. Saya tertarik menebak ending suatu cerita dan juga tertarik akan kemampuan para pemain dalam berakting. Mungkin hanya itu modal saya untuk menilai suatu pementasan seni seperti teater ini? Mungkin saja. Namun saya akan berkilah, saya hanya bercerita seperti apa adanya. Berkeliling “teater” lalu menceritakan apa yang terlihat menarik bagi saya.
Pertama sekali Syahrizal Fadhli mengunggah balihonya tentang ujian pementasan “Potatah-Putitih Potang” pada Agustus lalu. Pikiran saya pun “terbentur indah” pada kata-kata dalam judul itu. Menarik sekali. Jelas bagi saya bahwa kata-kata itu asli dalam Bahasa Melayu Rokan Hulu (sulit menyebutkan istilah yang tepat untuk varian bahasa Melayu yang berkembang di Kabupaten Rokan Hulu). Jika disebut Melayu Rambah itu sudah terkotak pula ke dalam Kecamatan Rambah, padahal bahasa yang sama juga diucapkan di kabupaten Tambusai, Kepenuhan, Kepenuhan Hulu, Rambah Samo, Rokan IV Koto, Ujungbatu, Kunto Darussalam, Pagaran Tapah, dan Bonai Darussalam. Atau juga ada dalam penyebutan dalam bahasa daerah di Kab. Kuantan Singingi, Kampar dan juga sebagian masyarakat di Sumatra Barat.
Apa artinya? Kata ‘potatah-putitih’ ada dalam versi Melayu dan Minangkabau dengan nama ‘petatah-petitih’. Dikutip dari bangka.tribunnews.com petatah-petitih dalam Bahasa Melayu merupakan salah satu sastra lisan masyarakat Melayu yang berisikan nasihat, sindiran, pandangan-pandangan atau pedoman hidup yang baik, dan petunjuk-petunjuk dalam melakukan hubungan sosial dalam masyarakat. Masyarakat Melayu tempo dulu, kerap menggunakan petatah petitih tatkala menasihati anak-anak mereka. Bahkan digunakan juga pada saat memarahi atau menyindir seseorang.
Sementara itu petatah-petitih pula dalam budaya Minangkabau menurut fkgipsnaspgri.org adalah salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang berbentuk puisi dan berisi kalimat atau ungkapan yang mengadung pengertian yang dalam, luas, tepat, halus dan kiasan. Kata yang digunakan dalam petatah-petitih merupakan kata yang mengandung makna kiasan, perumpamaan dan perbandingan yang mengandung suatu makna tertentu. Petatah-petitih ada kalanya diungkapkan dalam kalimat pendek dan ada kalanya berbentuk pantun.
Tetapi ketika saya cari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online tidak ada ditemukan ‘petatah-petitih’ yang ada hanyalah ‘pepatah-petitih’. Mirip tetapi asing bagi saya kata-kata itu. Entah dari mana sumbernya (mungkin ini sebagai kritik juga bagi penyusun KBBI daring untuk meluruskannya, mana yang benar). Dijelaskan di KBBI daring tersebut bahwa ‘pepatah-petitih’ berarti berbagai-bagai peribahasa. Maknanya secara umum sama dengan yang dimaksud sebagai petatah-petitih ataupun dalam dialek Rokan Hulu disebut ‘potatah-putitih’.
Selanjutnya kata menarik lainnya dalam judul tersebut adalah “potang”. Juga kata asli dalam dialek Melayu Rokan Hulu. Artinya menurut hemat saya ada tiga macam, yaitu waktu sore, kemarin dan dahulu kala. Saya berpendapat bahwa ‘potang’ juga diucapkan dalam bahasa-bahasa Melayu di daratan Sumatra, terutama daerah-daerah sebelah timur sampai pesisir. Ketika kata “potang” ditranslasi ke Bahasa Indonesia menjadi “petang” yang berarti waktu mulai tengah hari sampai mendekati senja dan juga berarti ‘sore’. Namun karena judulnya memang dalam Bahasa Melayu Rokan Hulu maka maksud “Potatah-Putitih Potang” itu adalah ‘berbagai nasehat zaman dahulu’.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana prosesnya Syahrizal Fadhli menemukan rangkaian kata-kata itu untuk sebuah judul teaternya? Setelah saya tanyakan secara langsung dalam suatu kesempatan ternyata prosesnya panjang juga. Ada berbagai pilihan kata-kata. Seperti kata ‘posan’ dan lain-lain. Sehingga terakhir muncul judul “Potatah-Putitih Potang”. Itu baru tentang judulnya saja. Belum lagi mengenai lokasi pementasan agar sesuai tema, dan lain-lainnya. Namun yang paling penting dari semua itu adalah tema yang mau diangkat. Apakah temanya? Onduo.
Saya termasuk orang yang baru tahu dengan istilah Onduo. Meskipun saya dilahirkan di salah satu kampung di Rokan Hulu, dengan orang tua yang juga asli Rokan Hulu, terus terang baru akhir-akhir ini mengenal istilah Onduo. Karena memang tidak pernah dikenalkan oleh orang-orang tua di kampung kami. Mungkin saja jenis budaya ini tidak dikenal di kampung kami tetapi ada di kampung-kampung lainnya. Nama kampung asli kami itu ialah Sebotih (dibaca dengan dialek Rokan Hulu sebagai “Subotiah”). Oleh sebab itu saya pun mencari informasi tentang Onduo ini.
Pertama saya berbincang-bincang dengan Muslim, S. Hum., M.Hum. Dia ini adalah seorang Dosen Sastra di Prodi PBSI STKIP Rokania yang mendalami bidang Teater. Nama panggungnya adalah Ucuong. Sudah banyak film berlatar daerah Rokan Hulu yang dibintanginya. Dia juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan kebudayaan di Rokan Hulu. Termasuk diminta untuk membaca puisi pada acara-acara yang dilaksanakan di Kab. Rokan Hulu. Perbincangan kami akhir-akhir ini sering membicarakan sastra termasuk teater dan budaya lisan yang pernah berkembang di Rantau Rokan ini. Saya menyebut Rantau Rokan untuk wilayah budaya sepanjang sungai Rokan. Yaitu kawasan Rokan Hulu, Rokan Hilir dan hulu sungai Rokan Kiri di Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat.
Menurutnya Onduo merupakan nyanyian lisan pengantar tidur anak. Mungkin sama dengan “buai anak” atau “timang anak”. Biasanya orang-orang dulu, terutama para ibu-ibu yang memiliki anak bayi, menidurkan anaknya dengan cara mengayun sambil menyanyikan syair-syair tertentu. Itulah yang disebut Onduo. Ketika saya tanyakan apakah Onduo itu memiliki padanan kata dalam Bahasa Indonesia, Muslim mengatakan bahwa onduo itu sendiri sudah menjadi kata atau istilah budaya tradisi lisan yang diakui oleh negara. Setelah saya googling ternyata benar.
Saya kutip dari wikipedia.com disebutkan bahwa Onduo Rokan merupakan seni pertunjukan yang ada di Provinsi Riau, Indonesia. Onduo adalah istilah untuk lagu pengantar tidur anak atau timang anak di lingkungan masyarakat Melayu Rokan, Riau. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai lagu “buai anak” atau “timang anak”. Onduo dinyanyikan oleh seorang perempuan sewaktu menimang anak yang hendak tidur. Karena iramanya yang syahdu, anak-anak bisa dibuat terlena hingga tertidur. Syair-syair Onduo biasanya mengandung nasihat, kasih sayang, serta kerinduan. Maka itu, syair yang berupa doa bagi anak yang sedang ditimang ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang mendengarnya. Tradisi lisan ini bersumber pada hafalan atau ingatan si penyanyi.
Kemudian didapat lagi informasi baru di situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id bahwa Onduo ini sudah tercatat menjadi warisan budaya tidak benda dari Provinsi Riau sejak tahun 2011. Onduo pun akhirnya menjadi bentuk kesenian yang dapat dinyanyikan bersama alat-alat musik. Ini dipelopori oleh tokoh budaya Rokan Hulu yaitu Datuk Taslim. Dia sering mengajarkan onduo ini kepada siapa saja yang tertarik. Dia adalah narasumber utama bagi para mahasiswa dan akademisi yang meneliti tentang Onduo dan sastra lisan lainnya yaitu Bukoba. Itu pula sebabnya Syahrizal Fadhli dalam pementasan “Potatah-Putitih Potang” ikut menampilkan musikalisasi Onduo yang langsung dimainkan oleh Datuk Taslim bersama timnya.
Inilah yang menjadi fokus utama dalam pementasan teater Fadhli itu, yaitu “Repertoar Teater, Transformasi Onduo ke Bentuk Teater Kontemporer”. Sebagaimana diketahui bahwa Onduo awalnya hanyalah tradisi lisan yang dinyanyikan oleh orang tua anak dalam menidurkan si anak. Nyanyian ibu yang syahdu itu dapat membuat si anak tertidur. Kemudian seiring perkembangan zaman dan tuntutan akan pengembangan budaya oleh para tokoh budaya maka kesenian lisan tersebut bertransformasi menuju arah yang kontemporer. Hal ini dapat dilakukan pada tradisi Onduo yang tradisional tanpa alunan musik, menjadi Onduo yang diiringi oleh beberapa alat musik seperti rebana dan gong.
Dengan ide tersebut dirancanglah suatu pementasan teater oleh Fadhli yang merupakan tugas akhirnya dalam meraih gelar Magister Seni di ISI Padangpanjang. Untuk sedapat mungkin menyesuaikan dengan kondisi masa lalu saat Onduo berkembang secara lisan, maka Fadhli pun mencari lokasi yang tepat. Salah satu persyaratan yang penting adalah adanya rumah panggung seperti zaman dulu. Tentang hal ini Fadhli menceritakan bahwa beberapa kampung telah disurveinya. Namun banyak yang tidak memenuhi syarat, sampai akhirnya Fadhli menemukan sebuah rumah panggung di Tanjung Harapan (Kampong Turondom), Kelurahan Pasir Pengaraian.
Sedikit beralih ke nama kampung ini yaitu Kampong Turondom, nama lama yang saya kenal. Entah sejak kapan diberi nama ini. Tetapi sejak saya masih kecil puluhan tahun lalu, nama Kampong Turondom sudah ada. Nama penggantinya pun sudah ada waktu itu yaitu Tanjung Harapan, disingkat Tanpan. Saya mengetahuinya karena dulu Tanpan itu lebih dikenal sebagai nama klub bola voli dan sepak bola dari Kampong Turondom. Memang susah untuk melupakan nama asal ini, karena ini sebenarnya menunjukkan sejarah. Saya menduga bahwa wilayah ini dulunya sering terendam banjir sungai Batang Lubuh (Rokan Kanan). Lokasi kampung ini pun persis di tepian sungai. Sehingga dinamakan Kampong Turondom, dialek Melayu Rokan untuk Kampung Terendam.
Ada salah satu rumah panggung di sana. Halamannya cukup luas untuk tempat pementasan. Ada pohon-pohon yang biasa ditanam di kampung seperti kelapa, mangga dan lain-lain. Dan yang terpenting menurut Fadhli bahwa masyarakat di sana sangat mendukung acara pementasan ini. Beberapa inisiatif para pemuda di sana pun dilakukan seperti memasang obor-obor di jalan-jalan menuju lokasi. Ini sangat membantu karena pementasan teater dilakukan pada malam hari. Dukungan masyarakat juga dibuktikan dalam sambutan Kepala Lingkungan (Kaling) Tanjung Harapan saat acara pementasan, yaitu Wisman. Beliau sempat mengucapkan terima kasih beberapa kali kepada “Universitas” Rokania karena pementasan yang dilakukan Fadhli ini sesuatu yang istimewa buat mereka yang dapat mengenalkan kampung mereka. Selanjutnya ada sambutan dari Dinas Pariwisata Rokan Hulu yang diwakili oleh Sekretaris Dinas yaitu Elfia Susanti, S.Ag. Beliau menjelaskan tentang karakteristik budaya Melayu Daratan dan Kepulauan. Dan intinya beliau mendukung setiap usaha dalam mengembangkan kepariwisataan di Rokan Hulu.
Bagi saya yang mengikuti prosesi pementasan saat itu tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Wisman (Kaling). Apalagi saat dua kali beliau menyebutkan ‘universitas’ untuk Rokania. Perlu diluruskan bahwa saat ini status institusi Rokania masih berupa Sekolah Tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Rokania. Namun kami merasa bangga bahwa perubahan status yang sedang digagas oleh Dr. Desmelati, M.Sc. (Ketua STKIP Rokania) bersama Senat Rokania yaitu “Rokania Goes to Be University” menjadi sesuatu yang disambut oleh masyarakat.
Kembali kepada pementasan teater karya Syahrizal Fadhli ini, bahwa untuk mendukung pelaksanaannya Fadhli membutuhkan banyak sumber daya, akses dan komunikasi. Sangat diuntungkan bahwa para pemain teater kebanyakan dapat direkrut dari mahasiswa Rokania. Mereka adalah orang-orang yang bertalenta. Terbukti saat penampilan di pementasan. Namun saya bukanlah orang yang punya kapasitas yang cukup untuk menilai penampilan mereka. Tetapi melihat hasil akhirnya, saya sebagai penonton dan peminat sangat puas dengan totalitas mereka dalam berakting.
Fadhli pun harus mendatangkan dosen-dosen pembimbing dan pengujinya dari ISI Padangpanjang. Mereka adalah Dr. Yusril, S.S., M.Sn. sebagai Pembimbing I, dan Dr. Afrizal H., S.Sn., M.Sn. sebagai Pembimbing II. Kemudian dosen-dosen penguji yaitu Dr. Sahrul N., S.S., M.Si., dan Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn. serta Dr. Dede Paramayoza, S.Sn., M.A. Setelah selesai pementasan teater tersebut maka Syahrizal Fadhli selaku mahasiswa S2 ISI Padangpanjang ini langsung mengikuti sidang tesisnya di lokasi tersebut. Dan akhirnya Fadhli berhasil meraih nilai yang sempurna. Ini mengantarkannya untuk meraih gelar Magister Seni (M.Sn.) ISI Padangpanjang dan telah diwisuda pada Senin (19/09/2022) lalu.
Beberapa waktu lalu saya pun berbincang-bincang dengan Dr. Hermawan, M. Hum. Yang juga dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) STKIP Rokania tentang berbagai hal yang berhubungan dengan budaya. Saat ini dia sedang mengikuti rangkaian kegiatan Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FISGB) 2022 di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Sebuah acara sastra yang ditaja oleh tokoh pers Riau yaitu Rida K. Liamsi. Pembicaraan kami pun sampai juga membahas pementasan teater “Potatah-Putitih Potang” karya Fadhli ini sepintas. Walaupun sepintas tetapi bagi saya menguatkan hipotesis saya bahwa seni teater tidak begitu dikenal di akar rumput masyarakat Rokan Hulu.
Hal senada juga dikuatkan oleh kesimpulan kami bersama Muslim, S. Hum., M.Hum. (dikenal dengan nama panggung Ucuong). Bahwa teater yang diperankan langsung oleh pegiat seni masyarakat dari cerita rakyat di Rokan Hulu memang tidak ada. Yang ada hanyalah sastra atau tradisi lisan yang tidak diperankan sebagai teater yang dipentaskan. Semasa kecil saya memang pernah melihat pementasan teater di kota Pasir Pengaraian. Tetapi itu bukan teater rakyat, namun hanya pentas sandiwara yang pemeran dan ide ceritanya didatangkan dari luar. Kami menyebutnya waktu itu sandiwara dari Jakarta.
Yang saya maksud di sini sebagai teater rakyat adalah pementasan seni seperti Randai yang berkembang di masyarakat Kab. Kuantan Singingi dan Sumatra Barat. Bisa juga teater monolog Sijobang Buwuong Gasiong dari Kampar yang telah mendapat status sebagai warisan budaya tidak benda asal Riau tahun 2017. Peran teaternya terikat pada karakter yang diceritakan. Misalnya tentang peran burung yang betina maka sang pemain pun berdandan dan bersuara seperti wanita. Begitu pula ketika memerankan cerita yang lainnya.
Berdasarkan kenyataan dan pemikiran itu maka saya menulis refleksi atas pementasan teater karya Syahrizal Fadhli ini dengan judul “Potatah-Putitih Potang Bangkik dari Kampong Turondom.” Maksudnya adalah dengan diadakan pementasan teater tersebut dan melihat antusiasme masyarakat saat itu untuk menyaksikannya serta dukungan dari elemen penting lainnya seperti pemerintahan dan kampus maka diharapkan seni teater mulai bangkit di Rokan Hulu dan Riau pada umumnya.
Lalu siapa pemeran teater yang akan mulai bangkit itu? Saya tidak merasa kesulitan menemukannya. Banyak tokoh-tokoh budaya yang dapat menjadi rujukan yang berasal dari Rokan Hulu. Dan pengamatan kami banyak sekali para milenial muda yang bertalenta namun belum maksimal mengaplikasikan talenta itu. Mereka tersebar di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, baik yang berada di Rokan Hulu maupun yang merantau kuliah di kota lain. Lebih dekat saja saya katakan bahwa para mahasiswa Program Studi PBSI dan PGSD STKIP Rokania banyak bertalenta seni. Apalagi jika dimentori oleh para dosen yang mumpuni dan kompetensi di bidang itu. Tentunya dukungan semua pihak akan sangat berarti. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentu berkepentingan dengan ini untuk meningkatkan minat pariwisata yang berdampak positif terhadap perekonomian masyarakat setempat.
Semoga tulisan yang cukup melelahkan membacanya ini dapat membuka cakrawala kita kembali. Sesuatu yang pernah “mati” dilanda zaman akan dapat bangkit kembali dan menemukan zamannya yang baru. Menurut saya seni itu tidak akan pernah mati selagi ada yang membawa dan memberinya “obor”. Jangankan manusia, hewan seperti burung pun dalam kehidupan mereka penuh dengan seni. Suara yang merdu, warna yang menawan dan tingkah polah yang unik dan lucu adalah seni yang tercipta dari alam.