Tradisi Upah-upah di Desa Kaiti
Secara umum, masyarakat adalah sebagai satu kesatuan kelompok manusia yang memiliki interaksi dalam sistem hidup tertentu. Masyarakat sebagai makhluk sosial ikut serta dalam hubungan-hubungan sosial yang membentuk suatu tradisi. Tradisi yang terbentuk oleh karena keberadaan dan kebutuhan masyarakat. Tradisi tersebut memiliki fungsi dan makna dalam lingkungan kehidupan di masyarakat.
Tradisi Upah-upah di Kaiti dilakukan dengan penggabungan tradisi suku Melayu dengan suku Batak Mandailing. Untuk tradisi Upah-upah yang dilakukan oleh masyarakat Batak Mandailing, karena yang mendiami wilayah Kaiti lebih banyak dari suku Batak Mandailing.
Ditemukan satu kasus di masyarakat Kaiti. Banyak masyarakat yang sakit namun tidak bisa disembuhkan secara medis. Selanjutnya, disarankan untuk melakukan tradisi Upah-upah, tetapi karena masyarakat tidak mengetahui makna dan fungsi Upah-upah, sehingga sulit untuk percaya melakukan tradisi Upah-upah.
Tujuan utama dari upacara Upah-upah yang saat ini sudah menjadi bagian dari tradisi Melayu masih sama dengan Upacara Upah-upah tradisi Batak Mandailing, yaitu mengembalikan semangat ke badan individu atau sekelompok orang yang diberikan Upah-upah.
Istilah Upah-upah berasal dari bahasa Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berpadanan makna dengan beberapa istilah dalam Bahasa Indonesia yang mencakup kata semangat, tenaga, dan kekuatan yang bersifat psikologis. Seiring dengan itu, beberapa pakar memiliki kesamaan pendapat tentang pembahasan makna Upah-upah ini.
Upah-upah yakni mengembalikan semangat (spirit) kedalam tubuh individu yang sedang sakit melalui lantunan kata pemberi semangat dan nasihat. Semangat dari dilakukannya tradisi Upah-upah dapat menimbulkan perasaan terhindar dari keputusasaan atas musibah yang telah menimpa individu tersebut (Dewi, 2018). Upah-upah dapat menimbulkan kekuatan, tenaga, semangat jiwa yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang, kukuh, keras, dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu.
Munthe (2023) mengatakan fungsi pelaksanaan Upah-upah dibagi menjadi dua, yaitu (1) Upah-upah sebagai wujud rasa syukur, dan (2) Upah-upah setelah mendapatkan suatu jabatan tertentu. Menurut Sulistyo (2018) berdasarkan fungsi Upah-upah dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut: (1) Upah-upah Hajat Tercapai, yaitu Upah-upah yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur karena cita-cita, hajat, harapan, atau pun permintaan tercapai. Misalnya, Upah-upah bagi anak yang sudah meraih kesuksesan dalam bekerja, berhasil dan lulus dari sekolah, atau berhasil dalam usaha lainnya. (2) Upah-upah Sembuh Sakit, yaitu Upah-upah yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur karena harapan sembuh dari sakit telah tercapai. Upah-upah jenis ini umumnya dilaksanakan seseorang yang sembuh dari penyakit kronis tertentu. (3) Upah-upah Selamat, yaitu Upah-upah yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur karena selamat dari suatu musibah alam atau gangguan orang. Misalnya, Upah-upah bagi seseorang yang selamat dari bencana hanyut di suatu sungai pada waktu banjir. (4) Upah-upah Khusus, yaitu Upah-upah yang dilaksanakan saat seseorang melalui fase kehidupan tertentu. Misalnya, Upah-upah bagi seseorang yang dikhitan atau dinikahkan.
Sukasni, Melay, dan Saiman (2016) menyampaikan tiga fungsi Upah-upah, yaitu (1) mengembalikan semangat seseorang yang terancam jiwanya, (2) memberi semangat dan kepercayaan diri, dan (3) menyambut dan mensyukuri suatu keberhasilan. Berdasarkan tiga teori tersebut, teori Sulistyo diambil sebagai teori yang menganalisis fungsi tradisi Upah-upah karena teori dari Sulistyo lebih lengkap terperinci dan mendukung penelitian yang akan dilakukan. Kadarsih, Priyadi, dan Seli (2018) mengatakan bahwa makna tradisi Upah-upah dapat dilihat berdasarkan enam pembagian, yakni (1) Segi budaya, (2) Segi keyakinan, (3) Segi pendidikan, (4) Segi sosial, (5) Segi sastra, dan (6) segi komunikasi.
Sukasni, Melay, dan Saiman (2016) mengatakan dua makna penting dalam pelaksanaan Upah-upah, yaitu (1) makna kepercayaan bagi diri individu yang melaksanakan Upah-upah, dan (2) makna budaya bagi masyarakat Melayu Desa Sungai Sialang Kecamatan Batu Hampar Kabupaten Rokan Hilir. Nasution (2016) menyatakan bahwa makna situasi simbolik tradisi Upah-upah terdiri dari objek fisik dan objek sosial yang pemaknaannya berhubungan dengan filosofis dan historis tradisi suku Batak Mandailing. Objek fisik tradisi Upah-upah terbagi menjadi dua, pertama persembahan yang di sajikan untuk roh antara lain ayam, telur, hati, gulai kepala kambing, nasi pulut kuning, sayur mayur yang digunakan tergantung tingkat penyakit orang yang hendak diUpah-upah masing-masing objek fisik tersebut mengandung makna tersendiri. Kedua, objek sosial Upah-upah berupa perilaku verbal dan nonverbal yang meliputi gerakan yang dilakukan oleh bamou, lantuan doa yang diucapkan oleh Bamou pada orang yang diUpah-upah. Berdasarkan tiga teori tersebut, teori Nasution digunakan sebagai teori yang menganalisis makna tradisi Upah-upah karena teori dari Nasution menjelaskan secara lengkap serta menjadi acuan dalam penelitian yang akan dilakukan.
Berdasarkan pengamatan di Dusun Kaiti, Desa Rambah Tengah Barat, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, tradisi Upah-upah mulai terdegradasi oleh perkembangan zaman. Kegiatan Upah-upah mulai jarang dilakukan, karena pola pikir masyarakat yang mulai kurang percaya dengan tradisi. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dari Dusun Kaiti, Desa Rambah Tengah Barat, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, pada tanggal 18 Oktober 2023, mengatakan bahwa ketika melaksanakan hajatan seperti kelahiran bayi, beliau tidak melaksanakan kegiatan Upah-upah untuk mewujudkan rasa syukurnya. Alasannya adalah karena persiapan untuk bahan-bahan Upah-upah sangat banyak, sehingga menyulitkan narasumber untuk melakukan Upah-upah.
Permasalahan selanjutnya, yang ditemukan berdasarkan wawancara dengan informan adalah mulai tidak ada generasi yang menjadi tukang Upah-upah. Kondisi Bamuo saat ini sudah memasuki usia tua. Sehingga Bapak Ihwal berpendapat tradisi Upah-upah ini tidak perlu dilakukan lagi.
Dua permasalahan tersebut menjadikan landasan utama untuk mengkaji tradisi Upah-upah yang berada di Dusun Kaiti, Desa Rambah Tengah Barat, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu. Berdasarkan penjelasan tersebut, saya bermaksud mengkaji makna dan fungsi pada tradisi Upah-upah masyarakat batak Mandailing Kaiti.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena tradisi upah-upah masih dijalankan dan terus dilakukan, tetapi beberapa pelaku tradisi upah-upah tidak faham, tidak tahu makna, serta fungsi dari tradisi upah-upah. Hal ini juga bisa digunakan untuk dokumentasi tradisi. Oleh sebab itu, maka ini dirasa perlu diadakan penelitian dan dapat bermanfaat untuk tetap melestarikan tradisi Upah-upah agar bisa dilaksanakan kembali di Dusun Kaiti, Desa Rambah Tengah Barat, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu.
Penulis: Latifah Asmarita, Yulia Lestari, Siska Leviyani, dan Siti Wahyuni.
Editor : Hasrijal