Pekanbaru (16/03/2023) – Kemarin tepat tanggal 15 Maret 2023, media sosial saya mengingatkan kegiatan yang pernah kami lakukan sekitar 8 (delapan) tahun yang lalu. Apa itu? Yaitu kegiatan memancing bersama di antara anggota Komunitas Pemancing yang tergabung dalam Komunitas Pemancing Riau (KoPeR). Waktu itu saya diajak suami dan anak tertua saya yang hobi memancing untuk ikut bersama-sama. Lokasi mancing bersama tersebut ada di daerah Rantau Baru, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan.
Target yang akan dipancing saat itu adalah udang galah dan ikan-ikan lainnya. Ada ratusan peserta yang hadir mengikuti kegiatan tersebut. Semuanya adalah pehobi mancing yang dikoordinasi oleh komunitas pemancing tersebut. Dapat dibayangkan betapa ramainya, dan keperluan mancing seperti fasilitas sampan, perahu dan boat atau pompong telah dikoordinasikan terlebih dahulu oleh panitia.
Hal yang dilihat di sana dari sisi ekonomi adalah meningkatnya transaksi berbagai komoditas dan jasa. Transaksi penyewaan pompong /boat/perahu meningkat karena peserta umumnya memancing ingin menggunakan transportasi tersebut sekalian untuk menikmati alam sungai. Tentunya juga jasa nakhoda pompong yaitu orang tempatan sangat dibutuhkan. Selain itu ada peningkatan penjualan dagangan masyarakat seperti makanan, minuman, peralatan pancing, bahan bakar minyak, dan bahkan ikan mentah dan olahan.
Secara ilmiah ada beberapa peneliti yang pernah menulis karya ilmiahnya tentang Wisata Berbasis Komunitas ini. Salah satunya adalah Ainurrahman, dosen STAIN Pamekasan sekaligus mahasiswa program Doktor UGM Yogyakarta. Judul karya ilmiahnya adalah “Wisata Berbasis Komunitas” ditulis tahun 2010. Hal menarik yang dikutip dari penjelasan abstraknya adalah, “The beauty of nature, cultural tradition, and the community daily life are the three basic components in organizing and expanding a total tourism village.” Atau, keindahan alam, tradisi budaya, dan kehidupan harian masyarakat adalah tiga komponen dasar dalam pengorganisasian dan pengembangan perkampungan wisata secara menyeluruh.
Selanjutnya ada juga tulisan dalam makalah seminar nasional Aditha Agung Prakoso dan Vina Dini Pravita, mahasiswa S1 Hospitality Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta, ditulis pada tahun 2018. Judulnya adalah “Model Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas pada Desa Nelayan di Daerah Istimewa Yogyakarta.” Dalam kesimpulannya didapat poin bahwa bahwa, “model pengembangan pariwisata berbasis komunitas pada desa nelayan di kawasan Pantai Selatan khususnya di Pantai Baru dapat diterapkan dalam pola kemitraan antar pemangku kepentingan atau stakeholder yang terdiri dari pemerintah, swasta dan masyarakat.”
Dilanjutkannya, “Ketiga stakeholder tersebut saling bersinergi tanpa meminggirkan kepentingan satu pihak namun memprioritaskan kepentingan bersama. Pola kemitraan tersebut berbasis pada prinsip 3L dalam pariwisata berbasis komunitas yaitu local resource, local benefit dan local organize. Seluruh sumberdaya yang dimiliki harus berasal dari potensi alam dan budaya yang dimiliki masyarakat lokal, memberikan manfaat secara adil bagi masyarakat, dan dikelola oleh komunitas atau masyarakat lokal. Model pengembangan pariwisata berbasis komunitas dalam bentuk pola kemitraan di desa nelayan kawasan Pantai Selatan khususnya di Pantai Baru ini harus terlaksana secara terpadu yaitu dari lapisan paling bawah hingga lapisan paling atas.”
Tanpa menfaikan teori dan kesimpulan tulisan tersebut, saya pernah terjun langsung bersama komunitas untuk menyelami langsung kegiatan yang dilaksanakan. Salah satu komunitas yang saya ikuti adalah komunitas para pemancing. Mereka memancing sekaligus berwisata. Tentu saja menikmati alam di perairan sungai, yang dalam hal ini adalah Sungai Kampar yang membelah provinsi Riau. Lalu kegiatan yang paling disenangi adalah langsung memasak ikan yang didapat saat memancing tersebut. Memasaknya langsung di atas perahu atau boat. Karena boat yang di sana disebut pompong telah menyediakan alat-alat memasak di dalamnya.
Kegiatan memasak di dalam boat ini telah pernah saya tulis di media Koran Harian Riau Pos pada edisi Ahad, 22 Maret 2015. Sebagai seorang tenaga pendidik dalam bidang Teknologi Hasil Perairan di Universitas Riau, bagi saya mengolah ikan hasil tangkapan tersebut merupakan suatu kebiasaan yang telah dipelajari. Selain diolah langsung jadi masakan saat di atas boat, ikan-ikan juga bisa diolah sementara untuk kemudian disimpan menjadi ikan olahan seperti ikan salai, ikan asin, dan lain-lain. Tergantung kuantitas dan kualitas ikan yang didapat.
Selain keseruan kegiatan tersebut ada lagi nilai lain yang tumbuh saat melaksanakan kegiatan tersebut yaitu kebahagiaan. Bahagia ikut bersama-sama dengan anggota keluarga, juga bahagia bersama teman-teman sehobi dan bahkan dengan rekan-rekan baru serta masyarakat tempatan. Bisa saling mengenal, saling berbagi cerita, dan saling berbagi ilmu tentang perikanan. Karena harus diakui bahwa ilmu perikanan dalam teori akan lebih sempurna jika diikuti dengan praktik di lapangan.
Terakhir ingin saya sampaikan bahwa kegiatan wisata berbasis komunitas sangat perlu digalakkan. Saat ini banyak sekali komunitas yang tumbuh di masyarakat. Bukan hanya komunitas pemancing yang jumlahnya sudah ratusan dalam satu provinsi, tetapi juga ada komunitas gowes (pesepeda), komunitas lintas alam, komunitas pengajian, komunitas pekebun sayur, dan lain-lain. Semua ini dapat mengembangkan kegiatannya dengan tema wisata.
Penulis: Desmelati (Dosen THP Universitas Riau)