Keseimbangan Yang Timpang
Menyinkronkan Ibadah Mahdhah dengan Ghairu Mahdhah
Oleh: A. U. Chaidir
Di tengah masyarakat yang semakin religius secara penampilan, kita sering menyaksikan pemandangan yang menggelitik: masjid ramai, sajadah terbentang, namun nilai-nilai kejujuran, empati dan tanggung jawab sosial semakin langka. Apakah ini buah dari ketimpangan dalam memaknai ibadah?
Mari kita coba lihat bersama, dengan hati yang jernih, dan pikiran terbuka.
A. PENDIDIKAN AGAMA USIA DINI
- Lebih Fokus Kepada Ibadah Mahdhah
Pengalaman di masa lalu. Masih ingat, ketika penulis kecil pertama kali belajar membaca kitab suci Al-Quran di sebuah surau tua, bersama teman-teman, kira-kira 60 tahun lalu. Kami diajarkan membaca Al-Quran, menghafal surat-surat pendek, do’a sehari-hari, serta tata cara wudhu’, shalat, dan puasa. Ustadz menjelaskan, bahwa Allah SWT mewajibkan shalat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan, serta menjanjikan pahala dan surga bagi yang taat – sebaliknya azab neraka bagi yang ingkar.
Namun, ajaran tentang akhlak, kejujuran, empati, atau tanggung jawab sosial hampir tak pernah disinggung. Tak ada pelajaran cara menyapa tetangga, menahan amarah atau menghargai orang lain.
- Abai Terhadap Amalan Ghairu Mahdhah
Pendidikan agama usia dini cenderung menanamkan bahwa, kalau sudah shalat, puasa, zakat, dan haji – itu sudah cukup.
Akibatnya.
– Anak-anak hafal surat-surat pendek, tapi gagap menyapa tetangga.
– Orang dewasa rajin ke masjid, tapi masih suka mencaci, mengkhianati, bahkan korupsi. Padahal, shalat seharusnya mencegah perbuatan keji dan munkar, begitu firman Tuhan.
B. Konsep Mahdhah dan Ghairu Mahdhah
Dalam Islam, ibadah dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni ibadah “Mahdhah” dan ibadah “Ghairu Mahdhah“.
– Ibadah Mahdhah
Ibadah Mahdhah ialah ibadah yang bersifat ritual, yang telah ditetapkan tata caranya oleh Allah SWT dan Rasul, seperti: Shalat, Puasa, Zakat, Haji. Ibadah Mahdhah memiliki aturan dan tata cara yang baku, tidak dapat diubah oleh manusia.
– Ibadah Ghairu mahdhah
Ibadah Ghairu Mahdhah adalah ibadah yang bersifat sosial atau akhlak, seperti: menolong orang lain, berbuat baik kepada sesama, berinfak, bersedekah, menyantuni anak yatim. Fleksibel dalam bentuk, namun punya nilai ibadah, sepanjang diniatkan karena Allah dan sesuai syari’at.
Di dalam melaksanakan ibadah, penting untuk memahami perbedaan antara ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah, agar kita dapat menjalankan ibadah dengan benar, sesuai tuntutan.
C. Keseimbangan Keduanya
Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah adalah deperti dua sisi mata uang, berbeda tapi tak terpisahkan. Ibadah Mahdhah tanpa Ghairu Mahdhah terasa kering, bahkan hampa. Sebaliknya, amal sosial tanpa fondasi ibadah, bisa kehilangan arah dan ruh.
Keseimbangan akan melahirkan harmonisasi: hubungan baik dengan Allah (hablimminallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablimminannas) serta hubungan baik dengan semesta (hablumminal’alam).
Sejatinya, ibadah Mahdhah itu melahirkan amalan-amalan sosial (Ghairu Mahdhah) – ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah adalah satu paket, yang tidak boleh senjang dan timpang. Ketidak seimbangan inilah yang kita saksikan dimana-mana, bukan hanya di negeri kita saja.
D. Kondisi Kekinian
Sekarang, tren religisiusitas semakin marak: dakwah dimana-mana, umroh tiap tahun, sekolah Islam menjamur dan pakaian Islami menjadi gaya hidup. Tapi, yang menggelitik adalah materi dakwah masih cenderung ritualistik. Jarang membahas kejujuran, tanggung jawab sosial, dan etika bermasyarakat. Akibatnya, muncul kesalehan individual yang tinggi, tapi abai dalam kesalehan dan tanggung jawab sosial — timpang.
E. Apa solusinya?
- Mulai dari diri sendiri
Buya Hamka berpesan: Bila anda menjabat sebagai Bupati, isi diri anda sebagaimana seorang Bupati. Dan jika anda menjabat sebagai Gubernur, isi pula diri anda layaknya seorang Gubernur. Aneh rasanya, usia sudah tua, alumnus perguruan tinggi, profesi bergengsi, status dihormati, tapi pemahaman beragama masih setara TPA. Maka, isilah diri, belajarlah terus untuk memperkaya diri – bukan hanya dengan hafalan, tetapi pemahaman yang membumi.
- Reformasi Pendidikan Agama
Pendidikan agama usia dini perlu dirombak, agar seimbang. Ritual diajarkan, tapi akhlak harus pula ditanamkan. Hafalan penting, tapi perilaku hubungan sosial perlu dibina. Tentu, ini bukan tugas satu, dua orang. Tapi, kita mengusulkan, mengingatkan, dan menginisiasi perubahan.
Penutup
Ibadah sejati bukan hanya tentang rukuk dan sujud, tapi juga tentang bagaimana kita berdiri tegak membela yang lemah, menunduk dalam empati terhadap sesama, dan berjalan lurus di tengah masyarakat. Saat keseimbangan ini lahir, baru kita bisa benar-benar menyebut diri, sebagai khalifah di muka bumi.
Pekanbaru, 17 Oktober 2025.