Kait Kelindan Seni Tradisi dalam Pelestarian Lingkungan
Oleh: Erni Lestari, A.Md.,Sn.
“Tepak (gendang) bertanya, Calempong menjawab dan Gong yang meng’iya’kan”, Itulah narasi yang ‘dibangun’ dalam filosofi seni tradisi gondang beroguong (baca: musik calempong) di Provinsi Riau pada umumnya. Konsep ini dihadirkan dalam tatanan kompleksitas kehidupan masyarakat Melayu antara seni budaya, sosial, hukum, lingkungan dan sebagainya. Lebih mengkerucut pada fungsi yang lain, seni tradisi menguraikan problem dalam kehidupan sebagai hiburan yang memahami ‘duka-lara’ persoalan tiap personal masyarakat sebagai gambaran keseluruhan masyarakat yang utuh.
Seni yang sudah men’tradisi’ memiliki arti sebagai seni yang sudah disepakati sebagai kebiasaan bersama dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) menentukan seni tradisi yang melekat dalam masyarakat selama 25 tahun lebih adalah batas terendah sebagai seni tradisi, sedangkan pelaku seni yang berpengaruh atas objek tersebut minimal mencapai umur diatas 60 tahun hingga ia dapat dikatakan sebagai Maestro Seni tersebut.
Gambaran sederhana dalam tatanan masyarakat Melayu pada umumnya dibentuk dengan berbagai subjek diantaranya Raja-raja/Tengku, Persukuan, Ninik Mamak dan anak-kemanakan. Masing-masing memiliki andil dan peran yang mesti ia rawat sebagai kesatuan dalam masyarakat Melayu, sehingga tiap orang dalam peranan terkecil apapun memiliki tanggung jawab yang dibutuhkan bersama. Karena dalam kesatuan yang utuh, anak-kemenakan hingga raja/tengku juga melakukan peristiwa yang sama untuk kelangsungan hidup, misalnya pada saat-saat tertentu, dimana daerah (baca: kampung) tersebut harus melakukan sesuatu hal untuk memperbaiki keadaan kampung (baca: semah) maka tiap lapisan tersebut berperan dalam peristiwa semah kampung dengan tujuan bersama-sama memperbaiki bahkan menjaga yang selama ini sudah menjadi tata kelakuan tertinggi dalam adat istiadat maupun kesehariannya.
Biasanya adat istiadat tidak terlepas dalam sudut padang seni dan budaya, seni hari ini dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang indah, unsur seni yang terkandung dalam prosesi adat menjadikan ia suatu rangkaian tak terpisahkan, seperti tradisi adat Tepuk Tepung Tawar yang mengandung unsur musikal dan gerak namun jika ia (baca : seni) terpisah, seni tradisi juga turut hadir sebagai hiburan dan pembawa pesan seperti tradisi Sastra Lisan Koba dari Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Koba bermakna kabar, cerita koba merupakan media hiburan sekaligus informasi pada zamannya, dikenal di masyarakat mulai dari kalangan bangsawan (raja-raja) hingga masyarakat menyeluruh pada umumnya. Koba menjadi tradisi pada semua helat diberbagai lapisan masyarakat disampaikan dengan senandung irama juga mengandung petuah-petuah beserta nasihat.
Jauh lebih kompleks, seni bukan sebagai penyampai pesan, ia (baca: seni) langsung menyatu dalam kegiatan konservatif misalnya dalam kegiatan Tolak Bala ataupun juga bisa disebut Semah Kampung seperti yang disebutkan diawal tulisan bahwa seluruh lapisan masyarakat melakukan suatu hal memperbaiki atau menjaga tata kelakuan tinggi.
Tolak Bala biasanya dilakukan dengan mengelilingi kampung secara beramai-ramai (baca: berarak kampung) pada malam atau siang hari, ini biasanya dilakukan dalam kondisi lingkungan kampung yang tidak kondusif, bisa jadi penyebabnya adalah wabah penyakit atau virus bahkan bencana alam dan kesenjangan perilaku yang ganjil atau ada tanda- tanda alam yang membuat masyarakat resah dan gelisah.
Tolak bala biasanya dipimpin oleh seorang/beberapa tokoh masyarakat bisa disebut bomo dan jika ia telah ‘berbaur’ denga syariat agama maka dipimpin oleh pemuka agama Islam biasanya dari seorang Imam masjid. Tolak bala, selain ‘menghalau’ keadaan yang tidak baik sekaligus mengucapkan rasa syukur, melafazkan kalimat-kalimat tauhid kepada Allah SWT dan Puji-pujian kepada nabi dan rasulNya kemudian rasa syukur itu terlihat dengan perlengkapan yang dibawa masyarakat saat berkeliling kampung (berarak) diantara makanan, kue-kue, buah-buahan yang saat tertentu akan dimakan kembali oleh seluruh masyarakat kampung tersebut.
Tradisi lain misalnya di Kabupaten Kampar (Kec. Kampar Kiri Hulu) disebut dengan Sema Antau yakni peristiwa pemeliharaan hulu-hilir aliran (baca: sepanjang) sungai Subayang dengan perahu berhias kain mengantar kepala kerbau/sapi ke hulu sungai, peristiwa ini adalah orientasi ekologi untuk menjaga tatanan lingkungan, Sema antau dihadiri oleh Raja, persukuan, ninik mamak dan kemanakan. Kegiatan ini belum dapat terlaksana jika unsur kesenian tidak masuk dalamnya, Alunan Calempong Oguong turut hadir dalam mengiringi raja, persukuan, ninik mamak dalam mengantar kepala kerbau. Seluruh lapisan masyarakat juga turut hadir dalam iringan sema antau ini, Imam masjid ikut dan turut mendoakan, mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan Rasul. Kegiatan ini mulai dari mengantar-menenggelamkan kepala kerbau sampai berkumpul untuk bersama-sama makan berjambau, inilah bentuk rasa syukur atas kelimpahan nikmat yang Tuhan berikan pada alam disekitar.
Orientasi Ekologi Seni adalah hubungan dan kaitan makhluk hidup terutama manusia dengan lingkungan sekitar, ekologi adalah ilmu tentang lingkungan dan pada seni budaya memiliki peran yang baik secara fungsi dalam masyarakat, mengenai manusia sebagai mahkluk hidup dan karya seni sebagai gambaran lingkungannya.
Kearifan lokal masyarakat dikatakan sebagai identitas yang sudah ‘mentradisi’ berpuluh/ratus tahun lalu dalam prosesi adat istiadat dan norma masyarakat Melayu dengan demikian masyarakat Melayu memegang keyakinan dan norma untuk turut menjaga lingkungan.