Rokan IV Koto (03/08/2022) – Ada satu bentuk kearifan lokal (local culture) yang dimiliki oleh masyarakat adat atau masyarakat desa. Khususnya di beberapa provinsi di pulau Sumatra seperti Riau, Jambi, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan lain-lain. Terutama masyarakat yang hidup di tepi sungai dan danau. Namanya adalah Lubuk Larangan. Yaitu kesepakatan masyarakat dalam suatu desa atau lembaga adat untuk menyediakan suatu kawasan tertentu di sebuah sungai atau danau yang tidak boleh diambil ikannya dalam periode tertentu.
Khusus untuk sungai maka kawasan yang dimaksud adalah daerah di aliran sungai yang dibatasi pada titik-titik tertentu. Panjang kawasan sungai yang dijadikan Lubuk Larangan itu bermacam-macam sesuai kesepakatan. Bisa jadi kurang dari 2 kilometer atau bahkan lebih. Ikan dalam kawasan lubuk larangan tersebut dilarang diambil dengan teknik apapun. Baik itu dipancing, dijala, dijaring, dituba, disetrum, pakai lukah dan beberapa perangkap ikan lainnya dan bahkan lingkungan perairan kawasan tersebut pun harus dijaga. Ketika tiba saatnya menurut kesepakatan adat atau desa maka lubuk larangan itu dibuka dan boleh diambil sumber daya di dalamnya terutama sekali ikan-ikannya.
Namun ada pula lubuk larangan yang hanya dibolehkan memancing saja, seperti di Desa Babussalam, kec. Rambah, Rokan Hulu. Letaknya di tepian turap sungai Batang Lubuh (Rokan Kanan). Teknik memancing apapun boleh digunakan, kecuali menjala, memukat atau menjaring, menuba, menembak ikan, menyetrum, mengebom ikan dan lain-lain. Memancing boleh kapan saja, tidak perlu ada pembukaan sekali setahun. Ternyata dengan begini ikan tetap berkembang dengan baik terutama di kawasan yang dijadikan larangan. Lubuk larangan jenis ini cocok untuk sungai-sungai besar.
Dikutip dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ dikatakan bahwa Lubuk Larangan adalah sebuah kearifan lokal masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan. Yaitu sebuah wilayah/tempat/lokasi yang berada di sungai yang disepakati oleh masyarakat bersama lembaga adat, dimana di tempat yang telah disepakati tersebut dilarang untuk mengambil ikan dan lain-lain yang ada dalam. Kemudian dikatakan lagi, “Lubuk Larangan memiliki fungsi yang sangat beragam,yaitu menjaga kelestarian hutan, air, tanah serta melestarikan adat istiadat setempat. Lubuk Larangan pun dapat bernilai secara ekonomis dan menjadi perekat kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat setempat. Sebuah tradisi yang sudah teruji.”
Mengenai hubungan antara masyarakat dengan lubuk larangan banyak ketentuan yang kadang-kadang seperti mitos. Misalnya jika ikan diambil dari lubuk larangan saat belum dibuka maka yang mengambil dan memakan ikan tersebut akan sakit. Selain itu jika terjadi pelanggaran oleh oknum masyarakat maka akan diberikan hukuman adat atau denda yang bentuknya diatur oleh adat setempat. Membuka dan menutup lubuk larangan tidak dapat dilakukan begitu saja, namun ada aturan tertentu seperti mendatangkan “orang pintar” yang memiliki ilmu tinggi. Bahkan di beberapa tempat dilakukan pembacaan surah Yaasiin dan ayat-ayat lainnya secara bersama-sama oleh masyarakat.
Lubuk larangan dibuka dalam jangka waktu tertentu. Dapat saja dibuka sekali setahun, atau bahkan lebih. Ini tergantung kesepakatan dengan melihat banyak atau tidaknya ikan di lubuk larangan tersebut. Pertimbangan lainnya adalah kondisi air sungai, umumnya pembukaan dilakukan saat air dalam keadaan surut/dangkal tepatnya musim kemarau. Juga dilihat dari waktu yang tepat seperti sebelum bulan puasa atau setelah lebaran idul fitri atau lebaran haji. Pertimbangan lainnya juga adanya izin dari “orang pintar” atau “pemegang kunci” yang menutup kawasan lubuk larangan itu dahulu.
Pembukaan lubuk larangan memiliki aturan tertentu pula dan kadang berbeda antara satu kawasan dengan yang lainnya. Umumnya saat pembukaan dihadiri oleh pemangku adat, pemerintah setempat, organisasi pemuda desa dan undangan luar serta masyarakat setempat. Umumnya peserta yang menangkap ikan saat pembukaan lubuk larangan dikenakan uang pendaftaran. Besaran uangnya tergantung kesepakatan panitia. Ada juga yang hanya diterapkan kepada para peserta yang berasal dari luar daerahnya, sedangkan masyarakat setempat gratis.
Aturan pembagian hasil saat lubuk larangan dibuka ada bermacam-macam pula. Ada kawasan lubuk larangan yang dibuka dan ikan yang didapat oleh masing-masing peserta adalah miliknya. Boleh diambil dan dibawa pulang. Ada pula ikan yang didapat dikumpulkan semua kemudian dibagi rata oleh dan untuk masyarakat setempat. Selain itu ada pula ikan hasil tangkapan dikumpulkan dan dilelang, uang hasil lelang digunakan untuk pembangunan di desa tersebut. Namu ada pula ikan hasil tangkapan mereka yang dimasak langsung di tepi sungai dan dimakan bersama-sama dalam satu keluarga.
Dari semua itu, ada satu hal yang sangat potensial untuk dibicarakan, yaitu pembukaan lubuk larangan ini merupakan ajang rekreasi keluarga dan wisata. Ini berpotensi menjadi ajang bisnis dan peningkatan ekonomi bagi masyarakat setempat. Banyak masyarakat yang datang dari luar untuk melihat dan membeli ikan. Selain itu masyarakat pun banyak yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Seketika geliat ekonomi masyarakat di sana meningkat. Apalagi jika pembukaan lubuk larangan ini dilakukan bukan hanya sehari, namun beberapa hari.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya Minggu (31/07/2022) penulis bersama keluarga ikut dalam pembukaan lubuk larangan di Dusun Lubuk Ingu, Desa Cipang Kiri Hilir, kec. Rokan IV Koto, kab. Rokan Hulu. Salah satu lubuk larangan di dusun itu dibuka, yaitu lubuk larangan milik pemuda dusun tersebut. Acara pembukaan dimulai pukul 10.00 WIB. Begitu pembukaan diresmikan maka berterjunan lah peserta ke sungai untuk menangkap ikan. Umumnya menggunakan jala dan jaring. Ikan-ikan yang menjadi sasaran adalah ikan kepiat/kopiek (Barbonymus schwanenfeldii), sebarau (Hampala macrolepidota), baung (Hemibagrus nemurus) dan lain sebagainya.
Salah seorang peserta, yaitu Ali Pullaila, M.Pd. (Kepala Sekolah SMAN 1 Rambah), mengatakan bahwa ajang ini jelas sekali sebagai ajang rekreasi. Terlihat dari para peserta yang membawa keluarganya ke sungai. Banyak yang mendirikan pondok-pondok kecil di tepi sungai. Ibu-ibu dan anak-anak gadisnya menyiapkan bumbu dan memasak makanan selagi yang lelaki terjun menangkap ikan. Ikan yang didapat dimasak dan pada tengah hari dimakan bersama.
Saat itu penulis dan keluarga bergabung bersama keluarga Datuk Kayo, tokoh masyarakat setempat yang sangat disegani. Saat makan siang bersama itu dinikmati dengan berbagai canda dan senda gurau. Ternyata Datuk Kayo ini adalah seorang yang humoris dan rendah hati. Namun satu hal yang paling diingat dari kata-katanya adalah, “Jangan malu-malu makan di sini. Sekali setahun cuma dapat begini. Makan di dalam sensudong (red: pondok daun). Nikmati sajalah. Ada bakar kopiek, asam pedas, dan lain-lain.”
Dapat dimaklumi dari perkataannya bahwa ajang pembukaan lubuk larangan ini memang ajang rekreasi. Setiap tahun mereka lakukan dengan penuh kegembiraan. Waktu-waktu yang dinantikan itu adalah saat makan bersama seperti itu. Bersenda gurau bersama sambil mengomentari berbagai hal seputar kegiatan menangkap ikan tersebut. Tidak terasa bahwa waktu begitu cepat berlalu. Jika ada ikan tangkapan yang berlebih maka dibawa pulang. Tentunya kami pun pulang dengan ikan bawaan yang lumayan.
Kesimpulannya adalah kearifan lokal lubuk larangan sangat layak untuk dikembangkan di berbagai kawasan yang memungkinkan. Hal ini berhubungan dengan kelestarian alam dan lingkungan, pembudidayaan ikan secara alami, peningkatan ekonomi masyarakat dan objek wisata tempatan. Diharapkan dukungan dari semua pihak agar kegiatan ini terlaksana dengan baik seperti dari lembaga adat, pemerintahan daerah, tokoh masyarakat, perguruan tinggi dan lain-lain.
Penulis/editor: Hasrijal